Sejarah
Berdirinya Kabupaten Pati
Sebagai penopang perekonomian masyarakat yang
berperan meningkatkan pendapatan asli daerah lewat Retribusi dan Pajak.
Kondisi Objek Wisata di Kabupaten Pati pada umumnya
masih perlu perbaikan dan pengembangan lebih lanjut , sebagai akibat adanya
penjarahan oleh orang – orang yang tidak bertanggung jawab. Dengan
berkembangnya pariwisata sebagai industri, maka wisata budaya merupakan
kegiatan pariwisata yang menjadi daya tarik untuk mendorong motivasi wisatawan
melakukan perjalanan. Daya tarik wisata budaya dapat berupa kesenian
seperti seni rupa, segala bentuk seni pertunjukan, dan upacara adat yang sering
dikemas agar lebih menarik para wisatawan.
Sejarah Kabupaten Pati berpangkal tolak dari beberapa
gambar yang terdapat pada Lambang Daerah Kabupaten Pati yang sudah disahkan dalam Peraturan
Daerah No. 1 Tahun 1971 yaitu Gambar yang berupa: "keris rambut pinutung
dan kuluk kanigara".
Menurut cerita rakyat dari mulut ke mulut yang terdapat juga pada kitab
babad Pati dan kitab babad lainnya dua pusaka itu merupakan lambang kekuasaan
dan kekuatan yang juga merupakan simbol kesatuan dan persatuan.
Barang siapa yang memiliki dua pusaka tersebut,
akan mampu menguasai dan berkuasa memerintah di pulau jawa. Adapun yang
memiliki dua pusaka tersebut adalah Raden Sukmayana penggede Majasemi andalan
Kadipaten Carangsoko.
Menjelang akhir abad ke XIII sekitar tahun 1290
Masehi di pulau jawa fakum penguasa pemerintahan yang berwibawa. Kerjaan
Pajajaran mulai runtuh, Kerajaan Singosari surut, sedang Kerajaan Majapahit
belum berdiri.
Di pantai utara Jawa Tengah sekitar Gunung Muria
bagian timur muncul Penguasa lokal yang memangkat dirinya sebagai Adipati,
wilayah kekuasaannya disebut Kadipaten.
Ada dua pusaka lokal di wilayah itu, yaitu
1. Penguasa
Kadipaten Paranggaruda, Adipatinya bernama “Yudhapati”. Wilayah kekuasaannya meliputi sungai Juwana ke
selatan, sampai Pegunungan Gamping Utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten
Grobogan. Mempunyai seorang putra bernama
Raden Jasari.
2. Penguasa Kadipaten Carangsoko, Adipatinya bernama “Puspa Andungjaya”, wilayah kekuasaannya meliputi
semua sungai Juwana sampai Pantai Utara Jawa Tengah bagian Timur. Adipati
Carangsoko mempunyai seorang putri bernama Rara Rayungwulan.
Kedua
Kadipaten tersebut hidup rukun dan damai, saling menghormati dan saling
menghargai untuk melestariakan kerukunan dan memperkuat tali persaudaraan itu
kedua Adipati tersebut bersepakat untuk mengawinkan putra putrinya itu. Utusan
adipati Paranggaruda untuk meminang Rara Rayungwulan telah diterima, namun
calon mempelai putri minta bebana agar pada saat pahargyan boja wiwaha daup
(resepsi) dimeriahkan dengan pagelaran wayang dengan dalang kondang yang
bernama “Sapanyana”.
Untuk
memenuhi beban itu, Adipati Paranggaruda menugaskan panggede kemaguhan yang
bernama Yuyurumpung agul-agul Paranggaruda sebelum melaksanakan tugasnya lebih
dulu Yuyurumpung berniat melumpuhkan kewibawaan Kadipaten Carangsoko dengan
cara menguasai dua pusaka milik Sukmayana di Majasemi. Dengan bantuan “Sondong Majeruk”kedua pusaka itu dapat dicurinya
namun sebelum dua pusaka itu diserahkan pada Yuyurumpung, dapat kembali oleh
Sondong Makerti dari Wedari. Bahkan Sondong
Majeruk tewas dalam perkelahian dengan Sondong Makerti. Dan pusaka itu
diserahkan kembali kepada Raden Sukmayana. Usaha Yuyurumpung untuk menguasai
dan memiliki dua pusaka itu gagal.
Walaupun demikian Yuyurumpung tetap melanjutkan tugas untuk mencari dalang
Sapanyana agar perkawinan putra Adipati Paranggaruda tidak mengalami kegagalan.
Pada malam pahargyan bojana wiwaha (resepsi) perkawinan dapat
diselenggarakan di Kadipaten Carangsoka dengan Pagelaran Wayang oleh Ki Dalang
Sapanyana. Di luar dugaan pahargyan baru saja dimulai, tiba-tiba mempelai putri
meninggalkan kursi pelaminan menuju ke panggung dan seterusnya melarikan diri
bersama Dalang Sapanyana. Pahargyan pekawinan antara “Raden Jasari” dan “Rara Rayungwulan” gagal total.
Adipati Yudhapati merasa dipermalukan, Emosi tak dapat dikendalikan lagi. Sekaligus
menyatakan permusuhan terhadap Adipati Carangsoka. Dan peperangan tak dapat
dielakkan. Raden Sukmayana dari Kadipaten Carangsoka memimpin prajurit
Carangsoka, mengalami kekalahan dan kemudian wafat. Raden Kembangjaya (adik
ipar Raden Sukmayana) menerusakan peperangan. Dengan dibantu oleh Dalang
Sapanyana, dan menggunakan kedua pusaka itu dapat menghancurkan prajurit
Peranggaruda. Adipati Paranggaruda, Yudhapati gugur dalam palagan membela
kehormatan dan gengsinya.
Oleh Adipati Carangsoka, karena jasanya Raden Kembangjaya dikawinkan dengan
Rara Rayungwulan kemudian diangkat menjadi pengganti Carangsoka. Sedang dalang
Sapanyana diangkat menjadi patihnya dengan nama “Singasari”.
Untuk mengatur pemerintahan yang semakin wilayahnya kebagian selatan, Adipati
Raden Kembangjaya memindahkan pusat pemerintahannya dari Carangsoka ke Desa
Kemiri dengan mengganti nama “Kadipaten
Pesantenan”. Dengan gelar “Adipati
Jayakusuma” di pesantenan.
Adipati Jayakusuma hanya mempunyai seorang putra tunggal yaitu “Raden Tambra”. Setelah ayahnya wafat, Raden Tambra diangkat
menjadi Adipati Pesantenan dengan gelar “Adipati
Tambranegara”.
Dalam menjalankan tugas pemerintahan Adipati Tambranegara bertindak arif
dan bijaksana menjadi Songsong Agung yang sangat memperhatikan nasib Rakyatnya,
serta menjadi pengayom bagi hamba sahayanya. Kehidupan rakyatnya penuh dengan
kerukunan, kedamaian, ketenangan, dan kesejahteraannya semakin meningkat. Untuk
dapat mengembangkan pembangunan dan memajukan pemerintahan di wilayahnya
Adipati Raden Tambranegara memindahkan pusat pemerintahan Kadipaten Pesantenan
yang semula berada di desa Kemiri munuju kearah barat yaitu, di desa
Kaborongan, dan mengganti nama Kadipaten Pesantenan menjadi Kadipaten Pati.
Dalam prasasti Tuhannaru, yang diketemukan di desa Sidateka, wilayah
Kabupaten Majakerta yang berada di Musium Trowulan. Prasasti itu terdapat pada
delapan Lempengan Baja, dan bertuliskan huruf Jawa kuna. Pada lempengan yang ke
empat antara lain berbunyi bahwa Raja Majapahit, Raden Jayanegara menambah
gelarnya dengan ABHISEKA WIRALANDA GOPALA pada 13 Desember 1323. Dengan
patihnya yang setia dan berani bernama DYAH MALAYUDA dengan gelar RAKAYI. Pada
saat pengumuman itu bersamaan juga dengan pisuwanan agung dari Kadipaten pantai
utara Jawa Tengah bagian Timur termasuk Raden Tambranegara berada di dalamnya.
Raja Jayanegara dari Majapahit mengakui wilayah kekuasaan para Adipati itu,
dengan memberi status sebagai tanah predikan, dengan syarat bahwa para Adipati
itu setiap tahun harus menyerahkan Upeti berupa bunga.
Bahwa Adipati Raden Tambranegara juga hadir dalam Pisuanan agung di
Majapahit itu terdapat juga dalam Kitab Babad Pati, yang disusun oleh K. M.
Sosrosumarto dan S. Dibyasudira, diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, 1980. Halaman 34, Pupuh Dandanggula pada: 12
yang lengkapnya berbunyi bahwa
Tambranegara Pati Sumewo maring Majalengka Brawijaya kedua, Majalengka
adalah Majapahit.
Kratonnya ing satanah jawi angalih Majapahit, ingkang jumeneng Ratu
Brawijaya ingkang kaping kalih, Ya Jaka pekik nama, Raden Tambranegara Sumewa
maring, Kraton Majalengka
Bardasarkan hal tersebut, jelaslah bahwa Raden Tambranegara Adipati Pati
turut serta hadir dalam Pisowanan agung di Majapahit.
Menurut tradisi budaya pertanian (Kultur Agraris) kelompok masyarakat atau
perorangan jika mengadakan kerja besar misalnya, melaksanakan pernikahan
putranya, khitanan, mendirikan rumah, merehab rumah, atau pindahan ke lain
tempat, selau mengusahakan tanggal yang baik. Dengan tujuan agar sesuatunya dapat
berjalan dengan lancar, baik, selamat serta mendatangkan rejeki.
Hari dan tanggal yang baik itu jika sesuai musim panen padi yang jatuh pada
bulan Juli atau Agustus pada tiap tahunnya. Kalau pisowanan agung yang dihadiri
oleh Raden Tambranegara ke Majapahit pada tanggal 13 Desember 1323, maka
diperkirakan bahwa pindahnya Kadipaten Pesantenan dari Desa Kemiri ke Desa
Kaborongan dan menjadi Kabupaten Pati itu diperkirakan pada bulan Juli dan
Agustus 1323.
Ada tiga tanggal yang baik pada bulan Juli dan Agustus 1323 itu yaitu: 3
Juli, 7 Agustus, dan 14 Agustus 1323.
Seminar Hari Jadi Kabupaten Pati yang diselenggarakan oleh Bapak Bupati KDH
Tk. II Pati pada tanggal 28 September 1993 di Pendopo Kabupaten Pati yang
dihadiri oleh para perwakilan lapisan masyarakat Kabupaten Pati, para guru
sejarah SLTA se Kabupaten Pati, Konsultan Dosen Fakultas Sastra dan Sejarah
Undip Semarang, secara musyawarah dan sepakat memutuskan bahwa tanggal 7
Agustus 1323 sebagai hari kepindahan Kadipaten Pesantenan di Desa Kemiri ke
Desa Kaborongan menjadi Kabupaten Pati, menjadi momentum HARI JADI KABUPATEN
PATI. Dengan surya sengkala “KRIDANE
PANEMBAH GEBYARING BUMI”, yang bermakna “Dengan bekerja keras dan penuh do’a
kita gali Bumi Pati untuk meningkatkan kesejahteraan lahiriah dan batiniah”.
Tanggal 7 Agustus 1323 sebagai HARI JADI KABUPATEN PATI telah ditetapkan
dalam Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Pati Nomor: 2/1994 tanggal
31 Mei 1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar